Sunday, January 7, 2018

Sepakbola Adalah Candu



Benarkah Sepakbola Adalah Candu?
Sepakbola, apapun ceritanya selalu menghadirkan drama yang membekas di ingatan para pecintanya. Saya ingat sekali jaman masih sekolah dasar di kampung halaman adalah awal mulai mengenal sepakbola. Semua orang di kampung saya terutama kaum Adam adalah penikmat sepakbola. Waktu itu tidak semua orang mampu membeli pesawat televisi di rumahnya. Termasuk rumah bapak dan ibu saya yang belum mampu membeli sarana hiburan semacam itu. Hanya orang-orang beradalah yang punya gawai hiburan televisi tersebut.
Tetangga sekaligus saudara jauh saya, beliaulah bibi biasanya saya menyapanya, adalah salah satu orang yang punya televisi berwarna 42 inch. Hebat benar, televisi berwarna tahun 90’an adalah sebuah prestise tersendiri bagi martabat keluarga. Berawal dari rumah bibi lah saya mulai sering lihat pertandingan sepakbola, baik liga dalam negeri ataupun luar negeri. Entah kenapa selalu ada rasa tidak ingin ketinggalan informasi terbaru perkembangan bintang lapangan hijau. Ba’da Ashar selepas TPA adalah rutinitas duduk berlama-lama di depan layar televisi
Ligina atau liga Indonesia sering ditayangkan pada sore hari yang merupakan jam utama keluarga. Serie A Italia sangat superior dan sedang dalam masa jayanya di televisi tanah air. Liga Inggris belum setenar serie A. Liga-liga sepakbola selalu menghadirkan drama di lapangan secara langsung yang tak kalah menarik dengan drama-drama latin yang merajai industri televisi nasional saat itu. Walaupun dengan menonton siaran sepakbola  tidak ada dampak positif langsung dalam prestasi olahraga pribadi, akan tetapi setidaknya bisa memberi hiburan untuk mengisi waktu kosong selepas penat kegiatan sehari-hari.
Sepak bola selalu menghibur penontonnya. Kesebelasan tanah air yang disukai orang-orang di kampung saya adalah Persib Bandung. Maklum saja waktu itu Persib Bandung adalah kesebelasan utama dari Jawa barat yang mentas di liga kasta teratas Indonesia. Sehingga ada pemeo yg mengatakan bahwa kalau orang jabar tidak dukung Persib itu buka orang jabar tulen. Ya begitulah sepak bola, terkadang susah di nalar fenomenanya. Di liga Italia tak kalah fanatik adalah soal dukung-mendukung kesebelasan yang berlaga. AS Roma, Milan, Inter Milan dan Juventus selalu merajai tabel klasemen dan tayangan-tayangan siaran langsung di malam Minggu.
Kepopuleran sepakbola dan fanatismenya suporter tiap kesebelasan bisa dikatakan setara dengan ketaatan pada agama dan ritualnya. Tiap kali tim kesayangan berlaga, apapun bisa dilakukan untuk mendukung penuh tim kesebelasan favorit. Orang-orang kampung saya bisa menunda pekerjaan atau urusan ketika berbarengan dengan jam tayang liga. Baju, celana, dekorasi rumah, interior mobil dihias sesuai warna kebesaran tim kesayangan. Lengkap dengan nomor punggung salah satu pemain terfavorit di klub tersebut. Atribut-atribut pelengkap semacam syal, topi, kaos kaki, buku tulis, sendalpun, semua bisa bercorak tim kesayangan.
Puncak perayaan sepakbola adalah pesta piala dunia yang diadakan setiap 4 tahun sekali yang biasa disebut FIFA World Cup. Seingat saya piala dunia tahun 1998 dan 2002 adalah perhelatan piala dunia yang mewah sekali pada jamannya. Setiap orang punya jagoan timnas negara asing-masing. Walaupun dalam hati miris kenapa negara sendiri tidak pernah ikut berpartisipasi di hajatan empat tahunan tersebut. Piala dunia 1998 menghasilkan Prancis selaku tuan rumah sebagai juara dan Brazil jadi kampiun Piala dunia 2002 yang dihelat di Korea-Jepang selaku tuan rumah bersama.
Walaupun sering dikecewakan tim kesayangan yang kalah, karena terkadang bahkan sering hasil pertandingan tidak sesuai prediksi. Tetapi, selalu ada energi positif untuk menonton sepakbola baik itu waktu pagi, siang, sore ataupun malam bahkan dini hari. Apakah benar sepakbola adalah candu?