Benarkah Sepakbola
Adalah Candu?
Sepakbola,
apapun ceritanya selalu menghadirkan drama yang membekas di ingatan para
pecintanya. Saya ingat sekali jaman masih sekolah dasar di kampung halaman adalah
awal mulai mengenal sepakbola. Semua orang di kampung saya terutama kaum Adam
adalah penikmat sepakbola. Waktu itu tidak semua orang mampu membeli pesawat
televisi di rumahnya. Termasuk rumah bapak dan ibu saya yang belum mampu
membeli sarana hiburan semacam itu. Hanya orang-orang beradalah yang punya
gawai hiburan televisi tersebut.
Tetangga
sekaligus saudara jauh saya, beliaulah bibi biasanya saya menyapanya, adalah
salah satu orang yang punya televisi berwarna 42 inch. Hebat benar, televisi
berwarna tahun 90’an adalah sebuah prestise tersendiri bagi martabat keluarga.
Berawal dari rumah bibi lah saya mulai sering lihat pertandingan sepakbola,
baik liga dalam negeri ataupun luar negeri. Entah kenapa selalu ada rasa tidak
ingin ketinggalan informasi terbaru perkembangan bintang lapangan hijau. Ba’da
Ashar selepas TPA adalah rutinitas duduk berlama-lama di depan layar televisi
Ligina atau
liga Indonesia sering ditayangkan pada sore hari yang merupakan jam utama
keluarga. Serie A Italia sangat superior dan sedang dalam masa jayanya di televisi
tanah air. Liga Inggris belum setenar serie A. Liga-liga sepakbola selalu
menghadirkan drama di lapangan secara langsung yang tak kalah menarik dengan
drama-drama latin yang merajai industri televisi nasional saat itu. Walaupun
dengan menonton siaran sepakbola tidak
ada dampak positif langsung dalam prestasi olahraga pribadi, akan tetapi
setidaknya bisa memberi hiburan untuk mengisi waktu kosong selepas penat
kegiatan sehari-hari.
Sepak bola
selalu menghibur penontonnya. Kesebelasan tanah air yang disukai orang-orang di
kampung saya adalah Persib Bandung. Maklum saja waktu itu Persib Bandung adalah
kesebelasan utama dari Jawa barat yang mentas di liga kasta teratas Indonesia.
Sehingga ada pemeo yg mengatakan bahwa kalau orang jabar tidak dukung Persib
itu buka orang jabar tulen. Ya begitulah sepak bola, terkadang susah di nalar
fenomenanya. Di liga Italia tak kalah fanatik adalah soal dukung-mendukung
kesebelasan yang berlaga. AS Roma, Milan, Inter Milan dan Juventus selalu
merajai tabel klasemen dan tayangan-tayangan siaran langsung di malam Minggu.
Kepopuleran
sepakbola dan fanatismenya suporter tiap kesebelasan bisa dikatakan setara
dengan ketaatan pada agama dan ritualnya. Tiap kali tim kesayangan berlaga,
apapun bisa dilakukan untuk mendukung penuh tim kesebelasan favorit.
Orang-orang kampung saya bisa menunda pekerjaan atau urusan ketika berbarengan
dengan jam tayang liga. Baju, celana, dekorasi rumah, interior mobil dihias
sesuai warna kebesaran tim kesayangan. Lengkap dengan nomor punggung salah satu
pemain terfavorit di klub tersebut. Atribut-atribut pelengkap semacam syal,
topi, kaos kaki, buku tulis, sendalpun, semua bisa bercorak tim kesayangan.
Puncak
perayaan sepakbola adalah pesta piala dunia yang diadakan setiap 4 tahun sekali
yang biasa disebut FIFA World Cup. Seingat saya piala dunia tahun 1998 dan 2002
adalah perhelatan piala dunia yang mewah sekali pada jamannya. Setiap orang
punya jagoan timnas negara asing-masing. Walaupun dalam hati miris kenapa
negara sendiri tidak pernah ikut berpartisipasi di hajatan empat tahunan
tersebut. Piala dunia 1998 menghasilkan Prancis selaku tuan rumah sebagai juara
dan Brazil jadi kampiun Piala dunia 2002 yang dihelat di Korea-Jepang selaku
tuan rumah bersama.
Walaupun
sering dikecewakan tim kesayangan yang kalah, karena terkadang bahkan sering
hasil pertandingan tidak sesuai prediksi. Tetapi, selalu ada energi positif
untuk menonton sepakbola baik itu waktu pagi, siang, sore ataupun malam bahkan
dini hari. Apakah benar sepakbola adalah candu?