Monday, October 3, 2011

kastanisasi pendidikan

MESKI telah banyak keluhan tentang rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), Pak M. Nuh selaku menteri pendidikan mengisyaratkan tidak akan menutup sekolah tersebut. Sebab, UU Sisdiknas mengamanatkan supaya pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Hal itu disampaikan menteri pendidikan ketika meresmikan Taman Bacaan dan Balai Belajar Bersama di City of Tomorrow Surabaya, 30 Mei. Pak Nuh menyatakan pihaknya telah menerima keluhan masyarakat tentang relatif tingginya biaya pendidikan di RSBI, sehingga banyak anak miskin yang tidak mampu menikmatinya. Karena itu, Kementerian Pendidikan Nasional sudah merencanakan evaluasi terhadap keberadaan dan kinerja RSBI.
Kastanisasi Pendidikan
RSBI memang pantas disyukuri sekaligus dienggani masyarakat kita. Disyukuri karena proses pendidikan di RSBI relatif lebih baik daripada sekolah pada umumnya, sehingga (diharapkan) menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas. Proses pendidikan di RSBI didukung sarana dan prasarana belajar yang lebih memadai, guru yang berpendidikan minimal magister, guru yang dapat berbahasa Inggris untuk semua pelajaran, perangkat ICT yang lebih komplet, dan sebagainya.
Pada sisi lain, RSBI juga dienggani masyarakat, khususnya masyarakat tidak berpunya secara finansial (the have not). Apa artinya berkualitas dan berstandar internasional kalau hanya dapat dinikmati kalangan berduit (the have). Bukankah negara ini tidak hanya milik orang-orang yang berduit?
Kehadiran RSBI memang menimbulkan kastanisasi pendidikan, mulai kasta yang rendah, kasta menengah, sampai kasta yang tinggi, kalau dilihat dari sisi finansial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah negeri dilarang menarik iuran untuk keperluan biaya operasional sekolah karena sudah mendapat bantuan secara langsung maupun tidak langsung, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah, dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), insentif guru, dan sebagainya. Implikasinya, para siswa sekolah negeri bebas dari biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan semacamnya. Artinya, orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya SPP dan semacamnya.
Lain sekolah negeri, lain sekolah swasta. Meski sudah mendapat bantuan pemerintah berupa BOS dan insentif guru, banyak sekolah swasta yang menarik SPP kepada siswa karena bantuan tersebut dirasa belum mencukupi kebutuhan sekolah. Namun, besarnya SPP yang ditarik relatif terbatas. Sebab, kalau menariknya terlalu besar, pemerintah bisa menghentikan BOS, insentif guru, dan lainnya.
Lain sekolah negeri, lain sekolah swasta, dan lain pula RSBI. Sekolah yang berstatus RSBI secara resmi dihalalkan dan dilegalkan menarik iuran dari siswa, termasuk iuran untuk biaya operasional. Jumlahnya pun relatif tidak terbatas. Karena itulah, banyak sekolah berstatus RSBI yang menarik iuran dalam jumlah ”tidak terkira”, sehingga hanya bisa dibayar oleh orang-orang yang berkecukupan.
Dari ilustrasi tersebut, tampak adanya kasta-kasta dalam pembayaran pendidikan. Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan RSBI.
Bertaraf Internasional
Kalau kita mengacu pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas, memang ada kewajiban bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sayangnya, UU tersebut sama sekali tidak memberikan penjelasan akan maksud bertaraf internasional.
Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional itu dari sisi kurikulum, jelas tidak benar karena tidak ada kurikulum pendidikan yang disepakati masyarakat secara internasional. ”Kurikulum Cambridge” memang banyak diaplikasikan oleh sekolah di Inggris dan negara-negara bekas jajahan Inggris. ”Kurikulum IBO” memang banyak diaplikasikan sekolah di Prancis dan Jepang. Namun, semua itu bukan berarti kurikulum internasional. Sama-sama sekolah di Australia saja, kurikulumnya berbeda kalau provinsi atau teritorinya berbeda.
Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional dari dimensi kualitas, juga tidak tepat. Sebab, sampai sekarang tidak ada kualitas internasional itu. Di Australia ada sekolah-sekolah yang sangat terkenal. Yaitu, Billanook School dan Trinity School. Sama-sama berkualitas, tapi ukurannya berbeda.
Kalau kita menafsirkan terminologi bertaraf internasional dari dimensi kiblat, barangkali lebih tepat. Disebut bertaraf internasional kalau sekolah itu memiliki ciri khas dan/atau keunggulan tertentu, sehingga dijadikan kiblat oleh sekolah-sekolah lain secara internasional.
Kita bisa saja, misalnya, mendirikan sekolah batik yang dijadikan kiblat oleh sekolah-sekolah lain di mancanegara. Demikian pula, kita mampu mendirikan sekolah karawitan, sekolah pewayangan, sekolah tari bali, dan lainnya.

No comments:

Post a Comment